
Tap, tap, tap....
Langkahku semakin dekat menuju nyamuk itu. Sepertinya ia benar–benar tak menyadari kedatanganku yang siap mencambukkan lidah ke arahnya. Aneh. Tak ada sensasi apapun yang terjadi di mulut ini. Sial! Nyamuk itu sudah raib. Cepat sekali ia menghilang, seperti jin saja. Terpaksa aku melangkah ke sudut lain balkon. Semoga masih ada nyamuk yang bersedia kulumat habis. Baru beberapa langkah, tiba–tiba kakiku terpeleset lantai balkon yang licin bekas siraman hujan. Dan kyaaaa..! Aku jatuh dari ketinggian balkon yang terletak di lantai dua rumah tersebut. Rasanya seperti terbang tanpa sayap. Hanya tinggal menanti malaikat maut mencabut nyawa saja.
“Wah, aku ada di mana nih?” ucapku linglung, beruntung ajal belum berminat menjemput. Rupanya tubuhku mendarat kasar pada pucuk sebatang pohon pisang yang terletak di seberang rumah itu. Perhatianku tertuju pada sekumpulan rumput liar yang terpapar temaram lampu jalanan.
Hei, bunga apa itu? Bisik suara dari dalam hati. Sekuntum bunga cantik sedang tersenyum di antara rerumputan dan ilalang. Mirip seperti Dandelion tapi mahkotanya berwarna pink. Kalau yang sering kudengar dari kalangan manusia sih, katanya warna pink itu melambangkan cinta. Ah, apa pula itu cinta? Bangsa hewan seperti kami hanya mengenal urusan makan dan dimakan. Aku ingin turun dan menghampirinya, tapi besok sajalah. Sekujur tubuhku masih nyeri gara-gara efek landing dari penerbangan yang kacau tadi. Kuputuskan untuk bermalam di salah satu pangkal pohon pisang ini, semoga tidak turun hujan biar aku bisa tidur nyenyak.
Suara kokok ayam jantan membangunkanku dari mimpi indah. Pemandangan menakjubkan sudah menanti. Padang rumput itu terlihat lebih keren di pagi hari, saat mentari mulai terbit dari ufuk timur. Terlebih ada bunga itu di sana. Kupaksakan tubuh yang belum sepenuhnya pulih untuk merangkak turun, ingin segera berkenalan dengan bunga yang kuberi nama Dandelion Pink tersebut. Nama yang cantik kan? Secantik warna mahkotanya.
“Hei, boleh aku berkenalan denganmu?” ucapku setelah sampai di hadapan sang bunga.
Tapi bukannya jawaban malah pemandangan mengerikan yang kudapat. Bunga cantik itu tiba–tiba layu di depanku. Sedih sekali melihatnya. Apa yang sudah kulakukan padanya sampai ia meregang nyawa begini? Ingin menangis, tapi tak bisa. Mendadak kumpulan ilalang dan rerumputan di sekitar bunga itu tertawa geli, yang bagiku lebih terdengar seperti mengejek.
“Kalian ini teman macam apa, hah? Teman layu bukannya sedih malah diketawain!” umpatku agar mereka berhenti tertawa.
“Hei cicak bodoh! Bagaimana kami tidak tertawa? Singkirkan dulu kakimu dari Si Putri Malu, baru kau ajak dia bicara!” tegur salah satu kembang ilalang padaku.
Aku jadi makin bingung. Putri Malu katanya? Nama yang aneh, tapi kuturuti saja perintah ilalang itu. Wow! Aku mengedipkan mata berkali–kali, seperti tak percaya Dandelion Cantikku berdiri tegak kembali.
“Benar kata Ilalang. Namaku Putri Malu. Maaf ya teman–temanku jadi menertawakanmu, tapi memang beginilah keadaanku jika tersentuh sesuatu, tubuhku menjadi layu.” Akhirnya bunga cantik itu bersuara juga.
“Jadi kau bukan Dandelion? Aneh sekali. Baiklah, aku tidak akan menyentuhmu lagi,” jawabku mengangguk, mencoba memahami keadaannya. Mungkin itu sebabnya ia dijuluki Putri Malu.
“Kau yang aneh! Mana ada Dandelion berwarna pink?” Kini salah satu rumput balas mengejekku sementara Si Putri Malu hanya menunduk tersenyum.
“Oh, begitu ya? Hehehe, maaf aku kan baru pertama kali melihat bunga yang seperti ini. Hei Putri, nanti sore aku berkunjung ke sini lagi ya!” ucapku tersipu. Kalau jadi manusia, mungkin wajahku sudah memerah seperti udang rebus.
“Oke, senang mengenalmu, Cicak.”
Aku kemudian berpamitan pada Si Putri Malu dan kawan–kawannya. Seperti biasa, naluri hewaniku sudah siap berpetualang mencari mangsa. Sepanjang hari ini entah sudah berapa banyak nyamuk yang hidupnya berakhir dalam saluran pencernaanku.
Sang surya sudah beringsut semakin condong ke ufuk Barat, tanda bahwa aku harus segera menemui Putri Malu yang mencuri perhatianku sejak semalam. Apa ini yang namanya cinta? Hellooo, sepertinya aku sudah tak waras? Peduli amat, toh hewan dan tumbuhan memang tak diberi akal seperti manusia. Namun alangkah terkejutnya saat aku tiba di padang rumput itu, Si Putri Malu dan kawan–kawannya sudah tak ada. Hanya ada pohon pisang yang jadi tempat singgahku semalam.
“Kau terlambat! Si Putri Malu dan teman–temannya sudah dibabat habis oleh seorang gembala. Mereka akan dijadikan pakan untuk ternaknya,” ucap pohon pisang itu seolah mengerti kebingunganku.
“Huwwaaaaaaa?!” teriakku sekonyong–konyong, tak rela jika harus kehilangan mereka.
Aku berlari tak tentu arah, samar terdengar pohon pisang menasehatiku untuk tabah menghadapi semua ini. Tidak! Aku harus segera menemukan kembali Sang Putri. Setelah mencari ke sana ke mari akhirnya kutemukan sebuah peternakan kambing tak jauh dari padang rumput itu. Benar dugaanku, beberapa ekor kambing sedang asyik melahap separuh rerumputan teman Si Putri Malu, sedangkan Putri Malu itu sendiri tampak terkulai bersama dedaunan yang lain.
“Putri, Putri, kau bisa mendengarku?” bisikku pada Si Putri Malu, berharap ia bisa tegak kembali seperti saat pertama kali aku mengenalnya.
“Cicak, bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanya Putri Malu yang semakin lemas.
“Aku mencarimu ke padang rumput tapi kau sudah tak ada di sana. Putri, aku menyukaimu...”
Aku serius mengucapkan kalimat terakhir itu, yang bahkan belum pernah kuucapkan pada cicak betina manapun. Tapi tak terdengar lagi jawaban, justru seekor kambing bertubuh besar sedang bersiap menyantap Si Putri Malu. Dalam hitungan detik, Sang Putri sudah hilang dari pandanganku.
“Putriiiiiii...!” Aku meraung sejadi–jadinya.
Tes, tes, tes...
Apa ini? Fiuhh... ternyata titik–titik gerimis membangunkanku dari mimpi yang konyol ini. Aku segera meluncur, mencari tempat hangat untuk berlindung dari guyuran hujan yang semakin deras. Kutengok sejenak padang rumput di sekitar pohon pisang itu, syukurlah Si Putri Malu dan kawan–kawannya masih ada di sana.