Twitter

Aku Dan Kenangan Senja

Author FANUEL YULIANTO - -
Home » Aku Dan Kenangan Senja

Sejak awal adalah hujan, yang jatuh dari matamu, mengairi pipi dan berakhir di sunyi. Lalu seterusnya adalah kemarau, di mana retak seluruh hati, dan kau; menjadi keping-keping di dalamnya

Hampir setahun aku mengenalmu. Kala itu hujan di penghujung April begitu lembut. Selembut tatap sendu dari bolamatamu yang bercahaya, seolah kunang-kunang tertanam di dalamnya. Kau memang membawa berjuta senyum yang hangat. Menyusuri seluruh jiwaku yang sebelumnya dingin karena kebekuan yang berkepanjangan.

Aku membenci laki-laki. Pernah. Lama sekali. Itu dulu, sebelum kau dengan gigihnya mengajakku berhujan-hujanan, saat dengan hebatnya airmata menetes dan mengairi pipiku.

Jika kamu bersedih dan tak bisa lagi menahan tangismu, berdirilah di bawah guyuran hujan. Biarlah airmatamu jatuh luruh bersama rintiknya. Dan biarlah sedihmu lenyap seiring dengan meresapnya air hujan ke dalam tanah.

Itu kata-katamu waktu itu. Kau tak ingin melihatku terus bersedih. Apalagi karena laki-laki. Bagimu, kebencianku hanya akan membunuhku satuhari nanti. Dan kau tak ingin melihatku mati karena kebencian yang tak ada artinya.

Ah itu hanya alasanmu belaka. Aku tahu, sesungguhnya kau menyukaiku. Aku yakin, bahkan di hatimu telah tumbuh benih cinta untukku. Begitu susah membuatmu mengakui. Memang tidak mudah. Sebab aku hanyalah seorang wanita yang amat sangat membenci laki-laki, dan kau adalah salahsatunya.  Ketakutanmu dibenci olehku, itu yang membuatmu tetap bersikukuh bahwa kau hanya ada buatku untuk menemaniku menangis manakala hujan datang. Sebab hanya saat hujanlah kau ijinkan aku meneteskan air mata.

Aku memang membenci laki-laki. Pernah. Dulu, sebelum aku menjadi luluh karena kehadiranmu. Kebencian yang teramat sangat. Pada Ayah. Yang entah di mana. Dari sekian banyak waktu kuhabiskan dengannya, aku hanya ingat ketika satu malam Ayah menyeret wanita kurus sakit-sakitan, Ibuku, keluar dari kamar, hanya karena keinginannya yang entah apa tidak dituruti Ibu. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh ringkihnya. Aku masih kecil. Belum pakai seragam. Tapi aku mengingat jelas rekaman itu. Rekaman yang selalu ulang-ulang berputar di pikiranku. Aku menangis. Berlari ke arah Ibu, ingin memeluknya. Belum sampai aku, tendangan Ayah sudah membuatku menjauh dari Ibu. Aku ingat sekali. Ingat. Tak pernah hilang dari benakku. Aku benci Ayah.

Aku memang membenci laki-laki. Pernah. Setelah Ibu meninggal dalam kepayahan batin di pelukanku. Setelah Ayah yang pergi entah kemana. Aku tumbuh menjadi gadis yang tak pernah tersenyum. Hanya pada gelap malam aku melukiskan sabit di bibirku yang lebih banyak diam. Pekat selalu menjadi temanku. Tinggal bersama adik Ibu tidak membuatku betah. Hampir setiap malam laki-laki berbeda mendatangi Bibi. Tak jarang pula mengendap-endap ke kamarku. Sekedar memberikan jajanan atau bercanda denganku. Aku benci basa-basi. Tidak. Yang sesungguhnya, aku benci laki-laki.

Laki-laki yang bukan hanya membunuh Ibuku. Tapi laki-laki pula yang membunuh hatiku. Aku memilih pergi dari rumah Bibi. Aku beranikan diriku, setelah beberapa laki-laki yang datang dan memberikan setumpuk uang untuk Bibi menerobos paksa ke dalam kamarku. Buku-buku berserakan, pecahan kaca di mana-mana, sobekan baju di lantai dan darah yang mengental di tempat tidur. Aku mati. Hatiku mati. Aku pergi. Berlari mencari pekat malam. Hanya malam yang dapat melindungiku. Aku ingin sembunyi di pekat malam.

Sampai aku bertemu kau. Di satu senja. Menanti malam.

“Ingin kutemani?” katamu sambil menggeser kursi kosong di sebelahku dan meletakkan gelas kopimu yang masih mengepul asapnya di depanku. Aku hanya diam.

“Mau ngopi...?” tawarmu sambil menyodorkan gelas milikmu. Belum kau minum sedikitpun.

“Tidak. Terimakasih. Masih ada teh seteko penuh. Lebih sehat minum teh. Mau?” tawarku datar.

“Boleh. Kasihnya sepenuh teko atau sepenuh hati nih tehnya?” Kau bercanda. Sedikit tertawa. Tapi tertahan. Bingung melihat kedataranku.

“Apakah aku mengganggumu, gadis?” tanyamu selidik.
Aku menggeleng pelan.

“Sudah beberapa hari aku melihatmu di sini. Seperti menantikan seseorang. Kekasihmu?” lelaki itu kembali bertanya setelah menit-menit berlalu dengan saling diam.

“Tidak. Tidak menanti seseorang. Tapi sesuatu. Malam,” kataku sambil menatap jauh ke jalanan. Lampu-lampu kota mulai bercahaya. Di tempat ini aku selalu menghabiskan senja. Membuang penat.

“Oh... pantas saja, kau selalu berlalu ketika malam mulai turun. Aku pikir, seseorang telah melupakan janji untuk menemuimu di sini. Sehingga selalu saja kau berlalu setelah senja pergi...” lelaki mendesah panjang. Kopi di gelas tak juga sampai ke tenggorokkannya. Hanya mematung.

“Ah.. maaf, siapa namamu? Aku Dony...” lelaki itu mengulurkan tangan tanda perkenalan.

“Aku bukan siapa-siapa...”

“Aku tahu, kau bukan siapa-siapa. Aku hanya ingin tahu namamu....”

“Panggil aku Raini... dan maaf, aku ingin sendiri...bisa kau tinggalkan aku?”

“Kalau tidak bisa?”

“Kumohon, tinggalkan aku...!”

“Dan membiarkan gadis manis secantik kamu, seorang diri di sini, sambil mengusap airmatamu diam-diam dengan saputangan birumu itu?”

Aku tersentak. Bagaimana lelaki sepertimu, yang tak kukenal, mengetahui kebiasaanku. Kau memata-mataiku. Aku semakin benci laki-laki. Selalu sok tahu.

Gerimis turun perlahan. Kau tak juga beranjak dari tempatmu. Aku mengabaikanmu. Masuk dalam duniaku sendiri. Senja beranjak pergi. Seketika airmata membasahi pipiku. Perlahan. Selalu saja aku menangis menanti kedatangan malam. Sebab kisah-kisah lalu seolah datang begitu saja setelah senja kembali ke peraduan.

Dan kau tiba-tiba menyeretku ke tengah jalan. Gerimis telah jadi hujan yang membabibuta.

“Jika kamu bersedih dan tak bisa lagi menahan tangismu, berdirilah di bawah guyuran hujan. Biarlah airmatamu jatuh luruh bersama rintiknya. Dan biarlah sedihmu lenyap seiring dengan meresapnya air hujan ke dalam tanah...” teriakmu seolah tak mau kalah dengan suara rinai hujan.

Kau membiarkan aku mengisak. Begitu hebat. Lalu kau memeluk tubuhku yang basah. Erat sekali. Aku merasakan sesuatu. Aku membenci laki-laki. Siapa pun lelaki itu. Tapi aku tak kuasa melepaskan pelukan hangat ini. Aku tahu kebencianku luluh karenamu.


Aku tak lagi membenci laki-laki, meski pernah. Setelah aku mengenalmu. Sebulan lagi adalah April. Akan tepat setahun setelah kejadian senja itu. Kau benar. Lambat-laun aku melupakan kesedihanku. Tak ada lagi benci. Aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Aku tak mampu jujur pada diriku sendiri apalagi padamu. Aku pun tahu kau menyimpan sesuatu. Namun kau terlalu takut untuk membuka pintuku. Maka kau hanya berlalu lalang di teras. Tanpa berani masuk, mengetuk pun tidak.

Kau memang selalu ada. Di tempat yang sama. Setiap senja, menanti malam, menemaniku. Aku hanya bertemu kau di waktu yang sama. Tidak ada kesempatan lain yang menemukan kita berdua. Siapa kau sesungguhnya, aku tak tahu. Dari mana kau datang, di mana rumahmu, apa pekerjaanmu, aku tak pernah tahu, tak pernah bertanya dan tak pernah pula kau bercerita. Begitu pun aku, kau tak tahu siapa aku. Kau hanya tahu, aku membenci laki-laki, suka menangis diam-diam saat senja menjelang malam. Hanya itu.

Aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Dan sampai saat inipun kau tak pernah tahu. Andaikan aku mampu membuka semua, tentu kita akan saling mendekatkan diri dan saling mengenal lebih jauh. Aku sudah tidak membenci laki-laki, tentu, karena aku mencintaimu, Dony. Kau benar-benar membuatku percaya, bahwa laki-laki tidak hanya bisa berlaku kasar. Kau lembut seperti angin. Selalu menyapa hangat dengan senyummu yang mempesona.

Aku menyukaimu. Aku mencintaimu.


Kau akan menjadi lelaki yang terakhir dalam ingatanku. Aku tak lagi membenci. Pun akhirnya kusadari aku tak bisa mencintaimu. Aku hanya sanggup melihatmu dari kejauhan. Jauh dari pandangan matamu.

Baru kutahu, senja kemarin. Senja pertama kulalui tanpa kau sejak hujan tempo hari. Dan tak sengaja, ketika hasratku enggan menanti malam di tempat biasa, aku susuri jalan berlawanan dengan terbenamnya matahari. Kulihat kau di sudut kota. Bersama seorang wanita yang menggandeng seorang anak kecil.

Seketika aku kehilangan kau. Aku tak lagi membenci. Namun aku tak mampu menyimpan cinta ini untukmu. Cinta yang tidak akan pernah kau tahu....


14 April, dua tahun setelah aku mengenalmu, setahun setelah aku memutuskan untuk tidak menikmati senja bersamamu. Di tempat yang sama. Menanti malam. Aku kembali. Dan sosok yang kukenal, perlahan mendekat. Gemuruh hati semakin kencang. Aku mengenalnya, itu kau. Gerimis yang sama. Penuh kerinduan. Aku menangis. Ini pasti hanya bayangan memori yang telah lalu.

“Mau kutemani...?” Aku terpana. Diam.

“Sejak awal adalah hujan, yang jatuh dari matamu, mengairi pipi dan berakhir di sunyi. Lalu seterusnya adalah kemarau, di mana retak seluruh hati, dan kau; menjadi keping-keping di dalamnya...” ujarnya nyata. Itu kau. Benar itu kau.

“Tak ada yang perlu kamu jelaskan, Raini. Aku kehilanganmu, dan aku selalu mencarimu hingga hari ini...Aku mencintaimu. Aku tahu kamu melihatku senja itu. Aku mengejarmu, tapi kau begitu cepat berlalu...”

“Dia...?”

“Dia istri kakakku...!”

“Aku...”

“Masihkah kau membenci laki-laki?            
 
Senja kali ini aku menangis, dan lagi-lagi kau membawaku ke tengah hujan. Kau memelukku, erat. Erat sekali.

/* Emoticon jQuery zona-evill.blogspot.com */