Twitter

LETTER TO FATHER

Author FANUEL YULIANTO - -
Home » LETTER TO FATHER

Dear Father...

Ayah, apa kabar Ayah belakangan ini? Apakah bahagia? Apa? Ayah bahagia? Ohhh... padahal anak sulungmu tidak hidup bersamamu, bagaimana mungkin Ayah merasa bahagia? Anak sulung, perempuan pula, merantau jauh ke negeri antah berantah. Bertahun-tahun. Apakah Ayah sudah terbiasa dengan ketiadaannya, sehingga Ayah mulai lupa? Ahhh... maaf Ayah, aku terlalu jauh berprasangka.

Ayah, ini tahun kesebelasku di Batam, sebelas tahun...! Bolehkah aku tahu kenapa Ayah tidak mengirimi surat atau bertanya kabarku? Apakah karena Ayah sangat yakin bahwa Dia menjagaku dengan baik sehingga Ayah amat tenang? Duhh Ayah... aku mengartikan itu sebagai bentuk ketidakpedulianmu terhadapku. Sebelas tahun. Bagaimana mungkin bisa bertahan selama itu? Aku pun tidak tahu. Sebelas tahun tanpa Ayah dan Ibu.

Aku sangat menyesal mengapa tumbuh mendewasa tanpa Ayah, juga Ibu. Seharusnya aku mempelajari, ooh bukan! Seharusnya kalian mengajariku budi pekerti. Mengajari banyak hal yang seharusnya memang diketahui oleh seorang anak. Sangat ingin tumbuh bijaksana dengan kebijaksanaan yang diwariskan dari Ayah dan Ibu.

Aku mendewasa di kota ini. Padahal ingin sekali mendewasa di alam yang indah seperti desa kita. Belajar kearifan dari alam, belajar tuturan lembut dan adab tetua kampung kita. Belajar tolong menolong dan gotong royong yang sangat jarang di kota ini. Aku yakin dapat tumbuh lebih sehat di kampung kita yang sejuk, Yah. Tapi... keputusan Ayah dan Ibu mengubah jalan cerita dan membuatku tak punya pilihan. Eh, sebenarnya dulu aku tak paham dengan apa yang terjadi makanya kukatakan bahwa aku tak punya pilihan.

Ayah dan Ibu seharusnya ada di sisiku, mendidik dan mengantarku menuju dunia kedewasaan. Seharusnya kalian menyaksikan bagaimana aku tumbuh. Ayah... banyak hal yang tak kudapatkan, itu membuatku berandai-andai. Mungkin salah, tapi dengan andaian itu aku mencoba merasakan kebahagiaan yang tidak aku dapatkan. Yeah, merasakan, tepatnya mencoba membayangkan rasanya tumbuh dalam asuhan kalian.

Ayah... tahu tidak usiaku berapa? Aku ingin jawaban tepat dari Ayah. Tepat, bukan jawaban kira-kira. Berapa tahun, berapa bulan, dan berapa hari. Aku berani bertaruh bahwa Ayah tidak tahu. Ha ha ha... Impaslah! Aku pun tidak tahu usia Ayah. Bagaimana aku tahu, kita berpisah saat aku masih kecil, saat aku belum tahu pentingnya mengetahui nama, pekerjaan, dan tanggal lahir orang tua. Maafkanlah...! Sudi kiranya Ayah memberitahu kelahiran Ayah dalam balasan surat nanti.

Oh ya... pernahkah Ayah memiliki atau merasakan sayang dan benci bersamaan pada satu hal yang sama? Kalau Ayah mau tahu aku pernah bahkan merasakannya sepanjang hidup sampai saat ini! Apa itu? Ayah bertanya demikian? Jawabannya adalah Ayah dan Ibu. Satu hal yang paling kubenci sekaligus kurindu dalam tiap detik yang sama. Kenapa? Mungkin Ayah bertanya demikian. Karena Ayah adalah Ayah kandungku, demikian juga Ibu. Dan di saat yang sama, kalian juga adalah orang yang menyia-nyiakan aku. Yang dengan keputusan cerai kalian, merampas masa kanak-kanakku dan aku kehilangan banyak hal. Bertahun-tahun, puluhan tahun tepatnya aku tak merelakan itu. Bahkan aku memprotes Tuhan akan kejadian itu. Menanyakan di mana Kemahaadilan-Nya. Aku menggugat Tuhan! Salah siapa itu? Salah kalian yang tidak mengajariku kecukupan akan pemahaman agama.

Ayah, Ibu... bolehkah aku meminta sekali saja-berkali pun tak apa-pikirkanlah aku sebagaimana memikirkan anak-anak kalian yang lain. Bagaimana pun aku juga anakmu.

Ayah, sebenarnya masih banyak yang ingin kutuliskan, tetapi tanganku sudah gemetar. Pun hatiku. Jadi kusudahi saja saja suratku sampai di sini.

Ttd Putrimu

Aku melipat surat, memasukkannya ke dalam amplop, menempelkan perangko di sudutnya, lalu memasukkan surat itu ke laci. Ya... Laci. Tempat di mana kusimpan surat-surat untuk ayah, yang tak pernah kukirimkan. Sekali pun.

/* Emoticon jQuery zona-evill.blogspot.com */